Jumat, 06 Januari 2012

Wudlu Karena Menyentuh Wanita dan Buang Air Besar

[الْوُضُوءُ مِنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْغَائِطِ]
Wudlu Karena Menyentuh Wanita dan Buang Air Besar
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ} [المائدة: 6] الْآيَةَ
Imam asy-Syafi’i berkata: Allah tabaaraka wa ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku” [QS. Al-Maidah (5): 6]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْوُضُوءَ عَلَى مَنْ قَامَ إلَى الصَّلَاةِ، وَأَشْبَهَ أَنْ يَكُونَ مَنْ قَامَ مِنْ مَضْجَعِ النَّوْمِ. وَذَكَرَ طَهَارَةَ الْجُنُبِ، ثُمَّ قَالَ بَعْدَ ذِكْرِ طَهَارَةِ الْجُنُبِ: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} [النساء: 43]
Imam asy-Syafi’i berkata: Allah ‘Azza wa jalla menyebutkan wudlu atas siapa saja yang hendak mendirikan shalat.  Dan sama juga halnya dengan orang yang bangun dari tempat tidurnya. Dan Dia menyebutkan thaharah bagi orang yang junub, kemudian setelah menyebutkan thaharah bagi orang yang junub, Allah berfirman: “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah” [QS. An-Nisa’ (4): 43]
فَأَشْبَهَ أَنْ يَكُونَ أَوْجَبَ الْوُضُوءَ مِنْ الْغَائِطِ، وَأَوْجَبَهُ مِنْ الْمُلَامَسَةِ، وَإِنَّمَا ذَكَرَهَا مَوْصُولَةً بِالْغَائِطِ بَعْدَ ذِكْرِ الْجَنَابَةِ، فَأَشْبَهَتْ الْمُلَامَسَةُ أَنْ تَكُونَ اللَّمْسَ بِالْيَدِ، وَالْقُبْلَةَ غَيْرَ الْجَنَابَةِ.
Maka sama juga halnya aku mewajibkan wudlu dari orang yang buang air besar, dan aku mewajibkannya dari menyentuh wanita. Dan sesungguhnya Allah menyebutkannya tersambung dengan buang air besar setelah penyebutan janabah. Maka sama juga menyentuh wanita dengan sentuhan tangan, dan ciuman/kecupan selain janabah.
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ   فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ
Malik telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Salim bin ‘Abdillah dari Ayahnya (Ibnu Umar) berkata, ciuman seorang laki – laki kepada istrinya dan merabanya dengan tangannya dari menyentuh wanita, maka siapa saja yang mencium istrinya atau merabanya dengan tangannya maka atasnya wudlu. (HR. Malik dalam al-Muwaththa’nya (1/65 nomor 64)[1], Imam Nawawi dalam kitabnya ‘Khulashatu al-Ahkam’ mengatakan bahwa hadits ini shahih[2])
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَبَلَغَنَا عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَرِيبٌ مِنْ مَعْنَى قَوْلِ ابْنِ عُمَرَ،
Imam asy-Syafi’i berkata: dan telah sampai kepada kami dari Ibnu Mas’ud yang dekat secara makna dengan perkataannya Ibnu ‘Umar.
وَإِذَا أَفْضَى الرَّجُلُ بِيَدِهِ إلَى امْرَأَتِهِ، أَوْ بِبَعْضِ جَسَدِهِ إلَى بَعْضِ جَسَدِهَا، لَا حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا بِشَهْوَةٍ أَوْ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ، وَوَجَبَ عَلَيْهَا،
Dan ketika seorang laki – laki sampai kepada istrinya dengan tangannya, atau dengan sebagian badannya kepada sebagian badan istrinya itu, sedangkan tidak ada penghalang (atau tabir) antara laki – laki itu dan istrinya itu, baik dengan syahwat atau tidak, maka wajib wudlu atas laki – laki tersebut (batal wudlunya) dan juga atas istrinya tersebut.
وَكَذَلِكَ إنْ لَمَسَتْهُ هِيَ وَجَبَ عَلَيْهِ وَعَلَيْهَا الْوُضُوءُ، وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ أَيُّ بَدَنَيْهِمَا أَفْضَى إلَى الْآخَرِ
Dan yang demikian itu jika laki – laki tersebut menyentuh istrinya tersebut, wajib wudlu atas laki – laki tersebut dan atas istrinya tersebut. Sama saja seluruhnya di dalam yang demikian itu yaitu kedua badannya sampai kepada yang lainnya.
إذَا أَفْضَى إلَى بَشَرَتِهَا، أَوْ أَفْضَتْ إلَى بَشَرَتِهِ بِشَيْءٍ مِنْ بَشَرَتِهَا، فَإِنْ أَفْضَى بِيَدِهِ إلَى شَعْرِهَا وَلَمْ يُمَاسَّ لَهَا بَشَرًا، فَلَا وُضُوءَ عَلَيْهِ، كَانَ ذَلِكَ لِشَهْوَةٍ أَوْ لِغَيْرِ شَهْوَةٍ، كَمَا يَشْتَهِيهَا وَلَا يَمَسُّهَا، فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ وُضُوءٌ. وَلَا مَعْنَى لِلشَّهْوَةِ؛ لِأَنَّهَا فِي الْقَلْبِ، إنَّمَا الْمَعْنَى فِي الْفِعْلِ، وَالشَّعْرُ مُخَالِفٌ لِلْبَشَرَةِ
Ketika laki – laki tersebut sampai kepada kulit luarnya (istrinya tersebut), atau istrinya tersebut sampai kepada kulit luar laki – laki tersebut, maka jika laki – laki tersebut sampai dengan tangannya kepada rambut istrinya tersebut dan tidak menyentuh kulitnya, maka atasnya tidak berwudlu (lagi, atau tidak batal). Adalah yang demikian itu (berlaku) baik dengan syahwat ataukah tidak.  Sebagaimana halnya dia bersyahwat kepada istrinya tersebut dan tidak menyentuhnya, maka tidak wajib atasnya berwudlu (lagi). Dan tidak ada makna bagi syahwat; karena ia ada di dalam qalbu, sesungguhnya makna itu ada dalam perbuatan, dan rambut itu berbeda dengan kulit.
(قَالَ) : وَلَوْ احْتَاطَ فَتَوَضَّأَ إذَا لَمَسَ شَعْرَهَا كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ. وَلَوْ مَسَّ بِيَدِهِ مَا شَاءَ فَوْقَ بَدَنِهَا مِنْ ثَوْبٍ رَقِيقٍ خَامٍ، أَوْ بَتٍّ، أَوْ غَيْرِهِ، أَوْ صَفِيقٍ، مُتَلَذِّذًا أَوْ غَيْرَ مُتَلَذِّذٍ وَفَعَلَتْ هِيَ ذَلِكَ، لَمْ يَجِبْ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا وُضُوءٌ؛ لِأَنَّ كِلَاهُمَا لَمْ يَلْمِسْ صَاحِبَهُ، إنَّمَا لَمَسَ ثَوْبَ صَاحِبِهِ
Imam asy-Syafi’i berkata: adalah suatu hal yang lebih aku sukai bagi seseorang jika ia berhati – hati dengan berwudlu kembali ketika menyentuh rambut istrinya. Dan jika seseorang menyentuh dengan tangannya apa – apa yang dikehendakinya di atas badan istrinya yang dilapis pakaian dari kain yang tipis atau dari kain yang tebal (بَتٍّ) atau yang selainnya atau kain yang tebal (صَفِيقٍ)[3], dengan syahwat ataukah tidak dengan syahwat, maka tidak wajib berwudlu atas keduanya. Hal ini karena keduanya tidak menyentuh satu sama lain, sesungguhnya dia hanyalah menyentuh pakaian istrinya.

قَالَ الرَّبِيعُ: سَمِعْت الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: اللَّمْسُ بِالْكَفِّ، أَلَا تَرَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ؟ قَالَ الشَّاعِرُ:
Ar-Rabi’ berkata: aku mendengar asy-Syafi’i berkata:  sentuhan dengan tangan, tidakkah engkau melihat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari hal menyentuh? Berkata penyair:
وَأَلْمست كَفِّي كَفَّهُ َطلب الْغِنَى ... وَلَمْ أَدْرِ أَنَّ الْجُودَ مِنْ كَفِّهِ يُعْدِي
فَلَا أَنَا مِنْهُ مَا أَفَادَ ذَوُو الْغِنَى ... أَفَدْتُ وَأَعْدَانِي فَبَذَّرْتُ مَا عِنْدِي
Dan dia menyentuh tanganku dengan tangannya mencari kecukupan (kekayaan).... dan aku tidak menemukan bahwasanya kedermawanan dari  tangannya menulariku
Maka tidaklah aku darinya apa – apa yang mengambil manfaat orang – orang yang tidak berkecukupan ...aku bersegera dan menolong diriku maka aku menaburkan apa yang ada padaku



[1] Ibnu Mulaqqin, al-Badr al-Munir, Jilid 2 (Riyadh: Dar al-Hijrah, 1425 H), h. 510.
[2] An-Nawawi, Khulashatu al-Ahkam, Jilid 1 (Lebanon: Muassasah ar-Risalah, 1418 H), h. 134. (dikutip dari Maktabah Syamilah versi resmi 1)
[3] Battin (kain yang tebal) adalah kain yang tebal/kasar sedangkan Shafiiqin adalah kain yang banyak benang tenunnya yang tidak tipis.