Jumat, 06 Januari 2012

Wudlu Karena Menyentuh Wanita dan Buang Air Besar

[الْوُضُوءُ مِنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْغَائِطِ]
Wudlu Karena Menyentuh Wanita dan Buang Air Besar
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ} [المائدة: 6] الْآيَةَ
Imam asy-Syafi’i berkata: Allah tabaaraka wa ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku” [QS. Al-Maidah (5): 6]
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْوُضُوءَ عَلَى مَنْ قَامَ إلَى الصَّلَاةِ، وَأَشْبَهَ أَنْ يَكُونَ مَنْ قَامَ مِنْ مَضْجَعِ النَّوْمِ. وَذَكَرَ طَهَارَةَ الْجُنُبِ، ثُمَّ قَالَ بَعْدَ ذِكْرِ طَهَارَةِ الْجُنُبِ: {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} [النساء: 43]
Imam asy-Syafi’i berkata: Allah ‘Azza wa jalla menyebutkan wudlu atas siapa saja yang hendak mendirikan shalat.  Dan sama juga halnya dengan orang yang bangun dari tempat tidurnya. Dan Dia menyebutkan thaharah bagi orang yang junub, kemudian setelah menyebutkan thaharah bagi orang yang junub, Allah berfirman: “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah” [QS. An-Nisa’ (4): 43]
فَأَشْبَهَ أَنْ يَكُونَ أَوْجَبَ الْوُضُوءَ مِنْ الْغَائِطِ، وَأَوْجَبَهُ مِنْ الْمُلَامَسَةِ، وَإِنَّمَا ذَكَرَهَا مَوْصُولَةً بِالْغَائِطِ بَعْدَ ذِكْرِ الْجَنَابَةِ، فَأَشْبَهَتْ الْمُلَامَسَةُ أَنْ تَكُونَ اللَّمْسَ بِالْيَدِ، وَالْقُبْلَةَ غَيْرَ الْجَنَابَةِ.
Maka sama juga halnya aku mewajibkan wudlu dari orang yang buang air besar, dan aku mewajibkannya dari menyentuh wanita. Dan sesungguhnya Allah menyebutkannya tersambung dengan buang air besar setelah penyebutan janabah. Maka sama juga menyentuh wanita dengan sentuhan tangan, dan ciuman/kecupan selain janabah.
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ   فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ
Malik telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Salim bin ‘Abdillah dari Ayahnya (Ibnu Umar) berkata, ciuman seorang laki – laki kepada istrinya dan merabanya dengan tangannya dari menyentuh wanita, maka siapa saja yang mencium istrinya atau merabanya dengan tangannya maka atasnya wudlu. (HR. Malik dalam al-Muwaththa’nya (1/65 nomor 64)[1], Imam Nawawi dalam kitabnya ‘Khulashatu al-Ahkam’ mengatakan bahwa hadits ini shahih[2])
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَبَلَغَنَا عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَرِيبٌ مِنْ مَعْنَى قَوْلِ ابْنِ عُمَرَ،
Imam asy-Syafi’i berkata: dan telah sampai kepada kami dari Ibnu Mas’ud yang dekat secara makna dengan perkataannya Ibnu ‘Umar.
وَإِذَا أَفْضَى الرَّجُلُ بِيَدِهِ إلَى امْرَأَتِهِ، أَوْ بِبَعْضِ جَسَدِهِ إلَى بَعْضِ جَسَدِهَا، لَا حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا بِشَهْوَةٍ أَوْ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ، وَوَجَبَ عَلَيْهَا،
Dan ketika seorang laki – laki sampai kepada istrinya dengan tangannya, atau dengan sebagian badannya kepada sebagian badan istrinya itu, sedangkan tidak ada penghalang (atau tabir) antara laki – laki itu dan istrinya itu, baik dengan syahwat atau tidak, maka wajib wudlu atas laki – laki tersebut (batal wudlunya) dan juga atas istrinya tersebut.
وَكَذَلِكَ إنْ لَمَسَتْهُ هِيَ وَجَبَ عَلَيْهِ وَعَلَيْهَا الْوُضُوءُ، وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ أَيُّ بَدَنَيْهِمَا أَفْضَى إلَى الْآخَرِ
Dan yang demikian itu jika laki – laki tersebut menyentuh istrinya tersebut, wajib wudlu atas laki – laki tersebut dan atas istrinya tersebut. Sama saja seluruhnya di dalam yang demikian itu yaitu kedua badannya sampai kepada yang lainnya.
إذَا أَفْضَى إلَى بَشَرَتِهَا، أَوْ أَفْضَتْ إلَى بَشَرَتِهِ بِشَيْءٍ مِنْ بَشَرَتِهَا، فَإِنْ أَفْضَى بِيَدِهِ إلَى شَعْرِهَا وَلَمْ يُمَاسَّ لَهَا بَشَرًا، فَلَا وُضُوءَ عَلَيْهِ، كَانَ ذَلِكَ لِشَهْوَةٍ أَوْ لِغَيْرِ شَهْوَةٍ، كَمَا يَشْتَهِيهَا وَلَا يَمَسُّهَا، فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ وُضُوءٌ. وَلَا مَعْنَى لِلشَّهْوَةِ؛ لِأَنَّهَا فِي الْقَلْبِ، إنَّمَا الْمَعْنَى فِي الْفِعْلِ، وَالشَّعْرُ مُخَالِفٌ لِلْبَشَرَةِ
Ketika laki – laki tersebut sampai kepada kulit luarnya (istrinya tersebut), atau istrinya tersebut sampai kepada kulit luar laki – laki tersebut, maka jika laki – laki tersebut sampai dengan tangannya kepada rambut istrinya tersebut dan tidak menyentuh kulitnya, maka atasnya tidak berwudlu (lagi, atau tidak batal). Adalah yang demikian itu (berlaku) baik dengan syahwat ataukah tidak.  Sebagaimana halnya dia bersyahwat kepada istrinya tersebut dan tidak menyentuhnya, maka tidak wajib atasnya berwudlu (lagi). Dan tidak ada makna bagi syahwat; karena ia ada di dalam qalbu, sesungguhnya makna itu ada dalam perbuatan, dan rambut itu berbeda dengan kulit.
(قَالَ) : وَلَوْ احْتَاطَ فَتَوَضَّأَ إذَا لَمَسَ شَعْرَهَا كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ. وَلَوْ مَسَّ بِيَدِهِ مَا شَاءَ فَوْقَ بَدَنِهَا مِنْ ثَوْبٍ رَقِيقٍ خَامٍ، أَوْ بَتٍّ، أَوْ غَيْرِهِ، أَوْ صَفِيقٍ، مُتَلَذِّذًا أَوْ غَيْرَ مُتَلَذِّذٍ وَفَعَلَتْ هِيَ ذَلِكَ، لَمْ يَجِبْ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا وُضُوءٌ؛ لِأَنَّ كِلَاهُمَا لَمْ يَلْمِسْ صَاحِبَهُ، إنَّمَا لَمَسَ ثَوْبَ صَاحِبِهِ
Imam asy-Syafi’i berkata: adalah suatu hal yang lebih aku sukai bagi seseorang jika ia berhati – hati dengan berwudlu kembali ketika menyentuh rambut istrinya. Dan jika seseorang menyentuh dengan tangannya apa – apa yang dikehendakinya di atas badan istrinya yang dilapis pakaian dari kain yang tipis atau dari kain yang tebal (بَتٍّ) atau yang selainnya atau kain yang tebal (صَفِيقٍ)[3], dengan syahwat ataukah tidak dengan syahwat, maka tidak wajib berwudlu atas keduanya. Hal ini karena keduanya tidak menyentuh satu sama lain, sesungguhnya dia hanyalah menyentuh pakaian istrinya.

قَالَ الرَّبِيعُ: سَمِعْت الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: اللَّمْسُ بِالْكَفِّ، أَلَا تَرَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ؟ قَالَ الشَّاعِرُ:
Ar-Rabi’ berkata: aku mendengar asy-Syafi’i berkata:  sentuhan dengan tangan, tidakkah engkau melihat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari hal menyentuh? Berkata penyair:
وَأَلْمست كَفِّي كَفَّهُ َطلب الْغِنَى ... وَلَمْ أَدْرِ أَنَّ الْجُودَ مِنْ كَفِّهِ يُعْدِي
فَلَا أَنَا مِنْهُ مَا أَفَادَ ذَوُو الْغِنَى ... أَفَدْتُ وَأَعْدَانِي فَبَذَّرْتُ مَا عِنْدِي
Dan dia menyentuh tanganku dengan tangannya mencari kecukupan (kekayaan).... dan aku tidak menemukan bahwasanya kedermawanan dari  tangannya menulariku
Maka tidaklah aku darinya apa – apa yang mengambil manfaat orang – orang yang tidak berkecukupan ...aku bersegera dan menolong diriku maka aku menaburkan apa yang ada padaku



[1] Ibnu Mulaqqin, al-Badr al-Munir, Jilid 2 (Riyadh: Dar al-Hijrah, 1425 H), h. 510.
[2] An-Nawawi, Khulashatu al-Ahkam, Jilid 1 (Lebanon: Muassasah ar-Risalah, 1418 H), h. 134. (dikutip dari Maktabah Syamilah versi resmi 1)
[3] Battin (kain yang tebal) adalah kain yang tebal/kasar sedangkan Shafiiqin adalah kain yang banyak benang tenunnya yang tidak tipis.


4 komentar:

  1. Ringkasannya dari kitab ringkasan al-Umm:

    Imam Syafi'i berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, "Hai orang-orang yang-beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku." (Qs. Al Maa idah(5): 6)

    Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla menyebutkan wudhu bagi orang yang berdiri hendak mengerjakan shalat. Maksud yang lebih dominan adalah orang yang berdiri (baca: bangun) dari tidur terlentang. Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menyebutkan bersuci dari janabah. Kemudian setelah menyebutkan bersuci dari janabah, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan jika kamujunub, maka mandilah; dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah." (Qs. Al Maaidah(5): 6)

    Imam Syafi'i berkata: Telah sampai kepada kami dari Ibnu Mas'ud yang mendekati makna ucapan Ibnu Umar: Apabila seorang laki-laki menyentuhkan tangannya kepada istrinya, atau bersentuhan sebagian tubuhnya pada sebagian tubuh istrinya dimana tidak ada pembatas antara dia dan istrinya, baik dengan nafsu birahi atau tidak, maka wajib atas keduanya berwudhu.

    Demikian halnya apabila sentuhan itu dari pihak istri, maka keduanya pun wajib berwudhu. Jadi, mana saja dari badan keduanya yang tersentuh pada yang lain, baik dari pihak laki-laki yang menyentuh kulit wanita atau wanita yang menyentuh kulit lelaki, keduanya wajib berwudhu.

    Apabila laki-laki menyentuhkan tangannya pada rambut wanita, namun tidak sampai menyentuh kulitnya, maka tidak wajib atas orang itu berwudhu, baik terdorong oleh nafsu birahi atau tidak. Demikian juga halnya apabila ia bernafsu kepada istrinya, namun ia tidak menyentuhnya, maka tidak wajib baginya berwudhu kembali. Nafsu tidak dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum, sebab ia hanya ada dalam hati. Bahkan yang mesti dij adikan pegangan adalah perbuatan, sementara rambut berbeda dengan kulit.

    Imam Syafi'i berkata: Seandainya seseorang lebih berjaga-jaga dan berhati-hati, misalnya ketika ia menyentuh rambut wanita kemudian ia berwudhu, niscayahal itu lebih saya sukai.

    Jika seseorang menyentuh dengan tangannya apa yang dikehendaki dari badan wanita; baik dilapisi kain tipis maupun yang tebal atau selainnya, disertai rasa nikmat ataupun tidak, dan hal itu diperbuat juga oleh wanita, maka tidak wajib bagi mereka untuk berwudhu, karena masing-masing dari keduanya tidak saling bersentuhan. Hanya saja, setiap salah seorang dari keduanya menyentuh lawan jenisnya.

    BalasHapus
  2. Hadits yang biasa digunakan untuk berpendapat bahwa menyentuh wanita itu tidaklah membatalkan wudlu adalah hadits lemah menurut Imam2 hadits yang meriwayatkan hadits tersebut. Di sini biasanya terdapat ketidakseimbangan informasi karena hadits yang dicantumkan hanya sepotong dan tidak mencantumkan hadits secara utuh termasuk komentar imam2 hadits itu sendiri. Berikut saya copy paste hadits yang dimaksud dari blog salah seorang ikhwan:
    Dari Aisyah d bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Saya (Urwah) berkata: Tidaklah dia kecuali anda kan? Lalu Aisyah tertawa. (Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan Al-Albani dalam Al-Misykah: 323. Lihat pembelaan hadits ini secara luas dalam At-Tamhid 8/504 Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1/135-138 Syaikh Ahmad Syakir).
    Kenyataannya, hadits tersebut diriwayatkan dari berbagai jalur tetapi diambil hanya sepotong saja tanpa menyertakan komentar yang diberikan oleh para Imam Ahli Hadits yang mengeluarkan hadits tersebut, kemudian secara singkat menyertakan komentar Syaikh Nasiruddin al-Albani bahwa hadits tersebut adalah shahih. Hal ini tentu kurang tepat karena bagaimanapun komentar para Imam Ahli Hadits yang mengeluarkan hadits tersebut sangatlah penting misalnya saja Imam Tirmidzi yang mengatakan “Dan sesungguhnya sahabat – sahabat kami meninggalkan hadits dari ‘Aisyah karena menurut mereka lemah dari sisi sanad”.
    Berikut adalah naskah hadits lengkap dalam kitab Sunan at-Tirmidzi:

    BalasHapus
  3. حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، وَهَنَّادٌ، وَأَبُو كُرَيْبٍ، وَأَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ، وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، وَأَبُو عَمَّارٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ الأَعْمَشِ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ» ، قَالَ: قُلْتُ: مَنْ هِيَ إِلَّا أَنْتِ؟ فَضَحِكَتْ. [ص:134] وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ هَذَا عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالتَّابِعِينَ، وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، وَأَهْلِ الكُوفَةِ، قَالُوا: لَيْسَ فِي القُبْلَةِ وُضُوءٌ، وقَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، وَالأَوْزَاعِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ: «فِي القُبْلَةِ وُضُوءٌ» ، وَهُوَ قَوْلُ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِينَ. وَإِنَّمَا تَرَكَ أَصْحَابُنَا حَدِيثَ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ عِنْدَهُمْ لِحَالِ الإِسْنَادِ. وسَمِعْت أَبَا بَكْرٍ العَطَّارَ البَصْرِيَّ يَذْكُرُ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ المَدِينِيِّ، قَالَ: ضَعَّفَ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ القَطَّانُ هَذَا الحَدِيثَ، وَقَالَ: هُوَ شِبْهُ لَا شَيْءَ [ص:135] وسَمِعْت مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَاعِيلَ يُضَعِّفُ هَذَا الحَدِيثَ، وقَالَ: حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ عُرْوَةَ، [ص:138] وَقَدْ رُوِيَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ عَائِشَةَ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ» ، وَهَذَا لَا يَصِحُّ أَيْضًا، وَلَا نَعْرِفُ لِإِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ سَمَاعًا مِنْ عَائِشَةَ، [ص:139] وَلَيْسَ يَصِحُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا البَابِ شَيْءٌ
    Telah menceritakan kepada kami Qutaibah dan Hannad dan Abu Kuraib dan Ahmad bin Muni’ dan Mahmud bin Ghailan dan Abu ‘Ammar mereka berkata: Waki’ menceritakan kepada kami dari Al-A’masy dari Habib bin Abu Tsabit dari ‘Urwah dari ‘Aisyah berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium sebagian istrinya, setelah itu keluar shalat dan tidak berwudlu lagi. Urwah berkata: “Itu pasti engkau sendiri”. Urwah berkata: “Lalu ia pun tertawa”. Abu Isa berkata: “yang telah meriwayatkan hadits ini bukan hanya seorang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tabi’in. “ pendapat ini diambil oleh Sufyan ats-Tsauri dan penduduk Kufah. Mereka mengatakan: “Tidak ada kewajiban berwudlu karena mencium”. Sedangkan Malik bin Anas, Al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat; bahwa mencium itu mengharuskan wudlu. Pendapat ini diambil tidak hanya satu dari kalangan ahli ilmu dari sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dan tabi’in. Dan sesungguhnya sahabat – sahabat kami meninggalkan hadits dari ‘Aisyah karena menurut mereka lemah dari sisi sanad. Abu Isa berkata: “Aku mendengar Abu Bakr al-Aththar al-Bashri menyebutkan dari Ali Ibnul Madini, ia berkata: “Yahya bin Sa’id al-Qaththan melemahkan hadits ini, dan Habib bin Abu Tsabit belum pernah mendengar dari Urwah”. Telah diriwayatkan dari Ibrahim at-Taimi, dari Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menciumnya dan beliau tidak berwudlu lagi. Namun hadits ini juga tidak sah. Kami tidak pernah mengetahui bahwa Ibrahim at-Taimi pernah mendengar dari Aisyah. Tidak ada hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bab ini. (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 86)

    BalasHapus
  4. Berikut ini adalah hadits lengkapnya dari Sunan Abu Dawud:
    حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَا: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي رَوْقٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ عَائِشَةَ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ» ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: كَذَا رَوَاهُ الْفِرْيَابِيُّ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَهُوَ مُرْسَلٌ إِبْرَاهِيمُ التَّيْمِيُّ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ عَائِشَةَ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: مَاتَ إِبْرَاهِيمُ التَّيْمِيُّ وَلَمْ يَبْلُغْ أَرْبَعِينَ سَنَةً، وَكَانَ يُكْنَى أَبَا أَسْمَاءَ
    Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya dan Abdurrahman, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Rauq dari Ibrahim at-Taimi dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menciumnya namun beliau tidak berwudlu. Abu Dawud berkata: beginilah yang diriwayatkan oleh al-Firyabi. Abu Dawud berkata: Ia adalah mursal. Ibrahim at-Taimi tidak pernah mendengar hadits dari Aisyah. Abu Dawud berkata: Ibrahim at-Taimi meninggal dunia sebelum sampai berumur empat puluh tahun. Kuniyahnya adalah Abu Asma. (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 178)
    حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ حَبِيبٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ» ، قَالَ عُرْوَةُ: مَنْ هِيَ إِلَّا أَنْتِ؟ فَضَحِكَتْ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: هَكَذَا رَوَاهُ زَائِدَةُ، وَعَبْدُ الْحَمِيدِ الْحِمَّانِيُّ، عَنْ سُلَيْمَانَ الْأَعْمَشِ،
    Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami al-A’masy dari Habib dari Urwah dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium salah seorang istri beliau, kemudian beliau keluar untuk shalat, sedangkan beliau tidak berwudlu lagi. Urwah berkata: Siapakah dia kalau bukan engkau? Maka dia (Aisyah) tertawa. Abu Dawud berkata: demikianlah diriwayatkan oleh Za’idah dan Abdul Hamid al-Himmani dari Sulaiman al-A’masy. (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 179)

    BalasHapus