Senin, 03 Oktober 2011

Air yang Menajiskan dan yang Tidak Menajiskan

[الْمَاءُ الَّذِي يَنْجُسُ وَاَلَّذِي لَا يَنْجُسُ]
Air yang Menajiskan dan yang Tidak Menajiskan
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ -) : الْمَاءُ مَاءَانِ: مَاءٌ جَارٍ وَمَاءٌ رَاكِدٌ، فَأَمَّا الْمَاءُ الْجَارِي فَإِذَا وَقَعَ فِيهِ مُحَرَّمٌ مِنْ مَيْتَةٍ أَوْ دَمٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ فَإِنْ كَانَ فِيهِ نَاحِيَةٌ يَقِفُ فِيهَا الْمَاءُ فَتِلْكَ النَّاحِيَةُ مِنْهُ خَاصَّةً مَاءٌ رَاكِدٌ يَنْجُسُ إنْ كَانَ مَوْضِعُهُ الَّذِي فِيهِ الْمَيْتَةُ مِنْهُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ نَجُسَ،
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: air itu ada dua: yaitu air yang mengalir dan air yang menggenang. Adapun air yang mengalir, ketika di dalamnya terdapat sesuatu yang diharamkan dari bangkai atau darah atau yang lainnya, apabila di dalamnya terdapat sisi yang berhenti, maka sisi yang berhenti tersebut khususnya air yang menggenang maka ia menajiskan jika tempat genangan yang terdapat bangkai tersebut airnya kurang dari lima ‘geriba’ (geriba adalah tempat air/susu dari kulit)[1].
وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ لَمْ يَنْجُسْ إلَّا أَنْ يَتَغَيَّرَ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيحُهُ، فَإِنْ كَانَ جَارِيًا لَا يَقِفُ مِنْهُ شَيْءٌ فَإِذَا مَرَّتْ الْجِيفَةُ أَوْ مَا خَالَطَهُ فِي الْجَارِي تَوَضَّأَ بِمَا يَتْبَعُ مَوْضِعَ الْجِيفَةِ مِنْ الْمَاءِ؛
Dan apabila airnya lebih banyak dari lima ‘geriba’, maka air tersebut tidak menajiskan kecuali berubah baunya, atau warnanya, atau rasanya. Karena air yang mengalir itu tidak dapat berhenti atau menetap sesuatu di atasnya. Apabila ada bangkai yang lewat atau hanyut atau apa saja yang bercampur dalam air yang mengalir tersebut, maka berwudlunya dengan air yang mengikuti (mengalir sesudah) tempatnya bangkai tersebut.
لِأَنَّ مَا يَتْبَعُ مَوْضِعَهَا مِنْ الْمَاءِ غَيْرُ مَوْضِعِهَا مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُخَالِطْهُ نَجَاسَةٌ، وَإِنْ كَانَ الْمَاءُ الْجَارِي قَلِيلًا فِيهِ جِيفَةٌ فَتَوَضَّأَ رَجُلٌ مِمَّا حَوْلَ الْجِيفَةِ لَمْ يُجْزِهِ إذَا مَا كَانَ حَوْلَهَا أَقَلُّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ كَالْمَاءِ الرَّاكِدِ، وَيَتَوَضَّأُ بِمَا بَعْدَهُ؛
Hal ini karena air yang mengikuti tempat bangkai tersebut adalah tempat yang lain dari air tersebut. Karena air yang lain tersebut tidak bercampur dengan najis. Dan apabila air yang mengalir sedikit jumlahnya serta di dalamnya terdapat bangkai, maka seseorang tidak boleh berwudlu dengan air di sekitar bangkai tersebut ketika disekitar bangkai tersebut airnya kurang dari lima ‘geriba’ seperti air yang menggenang. Dan diperbolehkan berwudlu dengan air sesudah bangkai tersebut mengalir.
لِأَنَّ مَعْقُولًا فِي الْمَاءِ الْجَارِي أَنَّ كُلَّ مَا مَضَى مِنْهُ غَيْرُ مَا حَدَثَ، وَأَنَّهُ لَيْسَ وَاحِدًا يَخْتَلِطُ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ فَإِذَا كَانَ الْمُحَرَّمُ فِي مَوْضِعٍ مِنْهُ يَحْتَمِلُ النَّجَاسَةَ نَجُسَ، وَلَوْلَا مَا وَصَفْت، وَكَانَ الْمَاءُ الْجَارِي قَلِيلًا فَخَالَطَتْ النَّجَاسَةُ مِنْهُ مَوْضِعًا, فَجَرَى نَجُسَ الْبَاقِي مِنْهُ إذَا كَانَا إذَا اجْتَمَعَا مَعًا يَحْمِلَانِ النَّجَاسَةَ،

Hal ini masuk akal karena di dalam air yang mengalir itu setiap air yang telah lewat adalah air yang bukan bercampur dengan kotoran. Dan bahwasanya dia tidaklah satu bagian yang mencampuri sebagiannya dengan sebagian yang lain. Maka apabila benda – benda yang diharamkan berada di dalam tempat tersebut, membawa najis tersebut, maka air yang membawanya menjadi najis. Tanpa apa – apa yang telah aku gambarkan. Dan adalah air yang mengalir itu sangat sedikit, kemudian bercampur dengannya najis darinya di suatu tempat, maka mengalirlah najis yang diam tersebut darinya. Ketika dia berkumpul bersama - sama (dengan air), maka kedua – duanya membawa najis.
وَلَكِنَّهُ كَمَا وَصَفْت، كُلُّ شَيْءٍ جَاءَ مِنْهُ غَيْرُ مَا مَضَى، وَغَيْرُ مُخْتَلَطٍ بِمَا مَضَى، وَالْمَاءُ الرَّاكِدُ فِي هَذَا مُخَالِفٌ لَهُ؛ لِأَنَّهُ مُخْتَلِطٌ كُلُّهُ فَيَقِفُ، فَيَصِيرُ مَا حَدَثَ فِيهِ مُخْتَلِطًا بِمَا كَانَ قَبْلَهُ، لَا يَنْفَصِلُ، فَيَجْرِي بَعْضُهُ قَبْلَ بَعْضٍ كَمَا يَنْفَصِلُ الْجَارِي.
Dan akan tetapi sebagaimana aku gambarkan, segala sesuatu yang datang darinya selain yang telah lewat (air yang membawa najis tersebut) dan selain yang bercampur dengan yang telah lewat, dan air itu tergenang di dalam  bagian ini, maka air itu berbeda dengan air yang bercampur najis tadi. Karena sesungguhnya dia (najis dan air itu) bercampur seluruhnya, maka dia tertahan dan dia menjadi kotoran di dalamnya yang bercampur dengan apa – apa yang datang sebelumnya (bercampur dengan air yang mengalir), tidak terpisah. Maka mengalirlah sebagiannya sebelum sebagian yang lain sebagaimana terpisahnya air yang mengalir.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ الْجَارِي قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا فَخَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ فَغَيَّرَتْ رِيحَهُ أَوْ طَعْمَهُ أَوْ لَوْنَهُ كَانَ نَجِسًا، وَإِنْ مَرَّتْ جَرْيَتُهُ بِشَيْءٍ مُتَغَيِّرٍ بِحَرَامٍ خَالَطَهُ فَتَغَيَّرَتْ ثُمَّ مَرَّتْ بِهِ جَرْيَةٌ أُخْرَى غَيْرُ مُتَغَيِّرَةٍ فَالْجَرْيَةُ الَّتِي غَيْرُ مُتَغَيِّرَةٍ طَاهِرَةٌ، وَالْمُتَغَيِّرَةُ نَجِسَةٌ
Imam Syafi'i berkata: Apabila air yang mengalir —baik kadarnya sedikit ataupun banyak— itu bercampur dengan najis sehingga bau, rasa dan warnanya dapat berubah, maka air itu menjadi najis. Apabila aliran air melewati sesuatu yang haram dan dapat merubah keadaan air dimana keduanya bercampur, kemudian aliran air itu melewati saluran lain yang tidak berubah, maka air yang tidak berubah itu suci sementara air yang berubah itu menjadi najis.
(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ فِي الْمَاءِ الْجَارِي مَوْضِعٌ مُنْخَفِضٌ، فَرَكَدَ فِيهِ الْمَاءُ، وَكَانَ زَائِلًا عَنْ سَنَنِ جَرْيَتِهِ بِالْمَاءِ يَسْتَنْقِعُ فِيهِ، فَكَانَ يَحْمِلُ النَّجَاسَةَ فَخَالَطَهُ حَرَامٌ نَجُسَ؛ لِأَنَّهُ رَاكِدٌ. وَكَذَلِكَ إنْ كَانَ الْجَارِي يَدْخُلُهُ إذَا كَانَ يَدْخُلُهُ مِنْهُ مَا لَا يُكْثِرُهُ، حَتَّى يَصِيرَ كُلُّهُ خَمْسَ قِرَبٍ، وَلَا يَجْرِي بِهِ.
Apabila di dalam air yang mengalir terdapat tempat yang lebih rendah, maka air menjadi diam atau tergenang di dalamnya.  Dan air tersebut tetap berhenti dari jalan mengalirnya air  dengan air menggenang di dalamnya, maka apabila air tersebut membawa najis serta bercampur dengannya benda – benda yang diharamkan, maka air tersebut menjadi najis. Karena air tersebut adalah air yang tergenang (bukan air yang mengalir). Hal yang demikian itu apabila air yang mengalir memasukinya (memasuki air yang menggenang), ketika memasukinya tidaklah membuatnya menjadi banyak, hingga berubah seluruhnya menjadi lima geriba, dan (air yang menggenang tersebut) tidaklah mengalir dengannya.
وَإِنْ كَانَ فِي سَنَنِ الْمَاءِ الْجَارِي مَوْضِعٌ مُنْخَفِضٌ، فَوَقَعَ فِيهِ مُحَرَّمٌ، وَكَانَ الْمَاءُ يَجْرِي بِهِ فَهُوَ جَارٍ كُلُّهُ، لَا يَنْجُسُ إلَّا بِمَا يَنْجُسُ بِهِ الْجَارِي. وَإِذَا صَارَ الْمَاءُ الْجَارِي إلَى مَوْضِعٍ يَرْكُدُ فِيهِ الْمَاءُ فَهُوَ مَاءٌ رَاكِدٌ يُنَجِّسُهُ مَا يُنَجِّسُ الْمَاءَ الرَّاكِدَ.

Apabila di dalam jalan air yang mengalir tersebut terdapat tempat yang lebih rendah, yang terdapat di dalamnya benda – benda yang diharamkan,  dan terdapat air yang mengalir kepadanya maka dia adalah air yang mengalir seluruhnya, tidak menajiskan kecuali dengan apa – apa yang menajiskan air yang mengalir. Ketika air yang mengalir telah menuju ke tempat air yang menggenang, dan air tersebut adalah air yang tergenang, maka menajiskannya apa – apa yang menajiskan air yang tergenang (atau air yang tidak mengalir).


[1] Satu geriba setara dengan 100 ratl atau 38,25 kg. Apabila imam Syafi’i mengatakan lebih dari lima geriba berarti lebih dari 191,25 kg air. Sedangkan satu qullah itu setara dengan 95 kg, maka dua qullah kurang lebih adalah 190 kg air yang kurang lebih sama dengan lima geriba tersebut. (diambil dari tanya jawab pada website shafifiqh.com tentang “Qirbah”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar