Jumat, 30 Desember 2011

Apa – Apa yang Mewajibkan Wudlu dan yang Tidak Mewajibkannya

[مَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ وَمَا لَا يُوجِبُهُ]
Apa – Apa yang Mewajibkan Wudlu dan yang Tidak Mewajibkannya
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ} [المائدة: 6] الْآيَةَ
Imam asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala berkata: Allah ta’ala berfirman:
"Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu. " (Qs. Al Maa"idah(5): 6)
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَكَانَ ظَاهِرُ الْآيَةِ أَنَّ مَنْ قَامَ إلَى الصَّلَاةِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَوَضَّأَ وَكَانَتْ مُحْتَمِلَةً أَنْ تَكُونَ نَزَلَتْ فِي خَاصٍّ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى عِلْمَهُ بِالْقُرْآنِ يَزْعُمُ أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي الْقَائِمِينَ مِنْ النَّوْمِ (قَالَ) : وَأَحْسَبُ مَا قَالَ كَمَا قَالَ؛ لِأَنَّ فِي السُّنَّةِ دَلِيلًا عَلَى أَنْ يَتَوَضَّأَ مَنْ قَامَ مِنْ نَوْمِهِ
Imam asy-Syafi’i berkata: maka adalah dzahir ayat tersebut bahwasanya barangsiapa yang hendak mendirikan shalat maka atasnya berwudlu. Dan adalah mungkin ayat tersebut turun secara khusus,  maka aku mendengar orang yang aku rela ilmunya dengan al-Qur’an (maksudnya Imam Syafi’i tsiqah kepadanya) berkata bahwasanya ayat tersebut turun kepada orang – orang yang bangun dari tidur. Imam asy-Syafi’i berkata: dan aku menganggap apa – apa yang disampaikan, seperti apa – apa yang dikatakannya; hal ini karena di dalam sunnah terdapat dalil atas berwudlu bagi orang yang bangun dari tidurnya.
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - " أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ»
Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari az-Zuhri dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ketika seseorang di antara kalian bangun dari tidurnya maka janganlah mencelupkan tangannya ke dalam wadah hingga dia membasuhnya tiga kali, maka sesungguhnya dia tidak mengetahui di mana tangannya bermalam. (HR. Muslim dalam Shahih-nya (1/233, nomor 87/278)[1])
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِي وَضُوئِهِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ»
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abi az-Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda: ketika seseorang di antara kalian bangun dari tidurnya maka basuhlah tangannya sebelum ia memasukkannya ke dalam air wudlunya karena sesungguhnya dia tidak mengetahui di mana tangannya bermalam. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya (1/43, nomor 162)[2], HR. Malik dalam Muwaththa’-nya (2/27, nomor 20/54)[3], HR. Ahmad dalam Musnad-nya (16/57, nomor 9996)[4])
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ " عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ»
Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dia berkata telah mengabarkan kepada kami Abu az-Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ketika seseorang di antara kalian bangun dari mimpinya maka janganlah mencelupkan tangannya ke dalam wadah hingga dia membasuhnya tiga kali maka sesungguhnya dia tidak mengetahui di mana tangannya bermalam. (HR. Asy-Syafi’i dalam kitab ini dan Musnad-nya (1/14)[5])
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَمَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ؛ لِأَنَّهُ قَائِمٌ مِنْ مُضْطَجَعٍ.
Imam asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala berkata: maka siapa saja yang tidur dalam posisi berbaring, wajib atasnya untuk berwudlu, hal ini karena dia bangun dari posisi berbaringnya.
(قَالَ) : وَالنَّوْمُ غَلَبَةٌ عَلَى الْعَقْلِ، فَمَنْ غُلِبَ عَلَى عَقْلِهِ بِجُنُونٍ أَوْ مَرَضٍ، مُضْطَجِعًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مُضْطَجِعٍ، وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ؛ لِأَنَّهُ فِي أَكْثَرَ مِنْ حَالِ النَّائِمِ، وَالنَّائِمُ يَتَحَرَّكُ الشَّيْءُ فَيَنْتَبِهُ، وَيَنْتَبِهُ مِنْ غَيْرِ تَحَرُّكِ الشَّيْءِ، وَالْمَغْلُوبُ عَلَى عَقْلِهِ بِجُنُونٍ أَوْ غَيْرِهِ يُحَرَّكُ فَلَا يَتَحَرَّكُ
Imam asy-Syafi’i berkata: dan tidur itu mengalahkan akal, maka siapa saja yang dikalahkan atas akalnya karena gila atau sakit, dalam posisi berbaring atau tidak dalam posisi berbaring, wajib atasnya wudlu. Hal ini karena di dalamnya lebih banyak menyerupai orang yang tidur, dan orang yang tidur bergoyang (badannya) maka itu membangunkannya, dan membangunkannya dari selain bergoyang (badannya), dan orang yang kalah akalnya karena gila atau selainnya menggoyangkannya (badannya) maka tidak bergoyang (ia tidak bangun atau sadar).
(قَالَ) : وَإِذَا نَامَ الرَّجُلُ قَاعِدًا فَأَحَبُّ إلَيَّ لَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ
Imam asy-Syafi’i berkata: dan ketika seseorang tidur dalam keadaan duduk, maka aku lebih menyukai baginya untuk berwudlu kembali.
(قَالَ) : وَلَا يَبِينُ لِي أَنْ أُوجِبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءَ،
Imam asy-Syafi’i berkata: dan tidak menjelaskan kepadaku bahwasanya wajib baginya wudlu.
أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ فَيَنَامُونَ أَحْسَبُهُ قَالَ قُعُودًا حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ
Telah mengabarkan kepada kami ats-Tsiqah dari Humaid ath-Thawiil dari Anas bin Malik berkata adalah sahabat – sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunggu waktu ‘Isya maka mereka tidur -aku mengiranya berkata dalam posisi duduk- hingga mengangguk – anggukkan kepala mereka kemudia mereka shalat dan tidak berwudlu (terlebih dahulu). (HR. Asy-Syafi’i dalam kitab ini dan Musnad-nya (1/11)[6], Ibnu Mulaqqin dalam kitabnya al-Badr al-Munir mengatakan hadits ini hadits shahih[7], hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya dengan sedikit tambahan redaksi ).
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَنَامُ قَاعِدًا ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ.
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwasanya dia tidur dalam posisi duduk kemudian shalat dan tidak berwudlu (terlebih dahulu).
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ نَامَ قَاعِدًا مُسْتَوِيًا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ عِنْدِي الْوُضُوءُ؛ لِمَا ذَكَرْت مِنْ الْآثَارِ وَأن مَعْلُومًا أن كَانَتْ الْآيَةُ نَزَلَتْ فِي النَّائِمِينَ أَنَّ النَّائِمَ مُضْطَجِعٌ
Imam Asy-Syafi’i berkata: dan ketika seseorang tidur dalam posisi duduk yang rata tidak wajib baginya untuk berwudlu di sisi kami. Sebagaimana telah aku sebutkan dari atsar, dan bahwasanya telah diketahui ketika ayat tersebut turun kepada orang – orang yang tidur, bahwasanya tidurnya tersebut dalam posisi berbaring.
وَأَنَّ مَعْلُومًا أَنَّ مَنْ قِيلَ لَهُ: فُلَانٌ نَائِمٌ، فَلَا يَتَوَهَّمُ إلَّا مُضْطَجِعًا، وَلَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ النَّوْمِ مُطْلَقًا، إلَّا أَنْ يَكُونَ مُضْطَجِعًا، وَنَائِمٌ قَاعِدًا بِمَعْنَى أَنْ يُوصَلَ، فَيُقَالَ: نَامَ قَاعِدًا، كَمَا يُقَالُ: نَامَ عَنْ الشَّيْءِ.
Dan bahwasanya telah diketahui bagi siapa saja yang dikatakan kepadanya: fulan tidur, maka seseorang tersebut tidak membayangkan yang lain kecuali bahwasanya dia itu tidur dalam posisi berbaring. Dan tidak berpengaruh atasnya kata ‘naum’ (tidur) secara mutlak, kecuali artinya adalah dalam posisi berbaring. Dan orang yang tidur dalam posisi duduk dengan makna duduk akan mengerjakan shalat, maka dikatakan: tidur dalam posisi duduk (naama qaaidan) sebagaimana dikatakan: tidur dari segala sesuatu (naama ‘an asy-Syai’).
وَإِنَّ النَّائِمَ مُضْطَجِعًا فِي غَيْرِ حَالِ النَّائِمِ قَاعِدًا؛ لِأَنَّهُ يَسْتَثْقِلُ، فَيَغْلِبُ عَلَى عَقْلِهِ أَكْثَرُ مِنْ الْغَلَبَةِ عَلَى عَقْلِ النَّائِمِ جَالِسًا، وَأَنَّ سَبِيلَ الْحَدَثِ مِنْهُ فِي سُهُولَةِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ، وَخَفَائِهِ عَلَيْهِ غَيْرُ سَبِيلِهِ مِنْ النَّائِمِ قَاعِدًا.
Dan sesungguhnya orang yang tidur dengan posisi berbaring dalam kondisi selain tidur dengan posisi duduk, sesungguhnya dia dalam kondisi tidur yang berat. Maka mengalahkan atas akalnya lebih banyak daripada mengalahkan akalnya orang yang tidur dalam kondisi duduk.  Dan bahwasanya jalan hadats darinya di dalam posisi rata tidak keluar darinya. Dan menyembunyikannya atasnya selain jalannya dari orang yang tidur dalam posisi duduk (susah keluar hadats).
(قَالَ) : وَإِنْ زَالَ عَنْ حَدِّ الِاسْتِوَاءِ فِي الْقُعُودِ نَائِمًا، وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ؛ لِأَنَّ النَّائِمَ جَالِسًا يَكِلُ نَفْسَهُ إلَى الْأَرْضِ، وَلَا يَكَادُ يَخْرُجُ مِنْهُ شَيْءٌ إلَّا يَنْتَبِهُ، وَإِذَا زَالَ كَانَ فِي حَدِّ الْمُضْطَجِعِ بِالْمَوْضِعِ الَّذِي يَكُونُ مِنْهُ الْحَدَثُ.
Imam asy-Syafi’i berkata: dan ketika pergi/berlalu dari definisi keadaan rata di dalam posisi duduknya orang yang tidur, wajib baginya untuk berwudlu. Hal ini karena orang yang tidur dalam posisi duduk mewakilkan dirinya kepada bumi. Dan tidak hampir keluar darinya sesuatu kecuali  dia sadar. Dan ketika berlalu dari definisi berbaring dengan tempat yang darinya keluar hadats tersebut.
(قَالَ) : وَإِذَا نَامَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا، وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءَ؛ لِأَنَّهُ أَحْرَى أَنْ يَخْرُجَ مِنْهُ الْحَدَثُ فَلَا يَعْلَمُ بِهِ مِنْ الْمُضْطَجِعِ.
Imam asy-Syafi’i berkata: dan ketika seseorang tidur dalam posisi ruku’ atau sujud, wajib atasnya berwudlu. Hal ini karena posisi tersebut lebih cenderung untuk mengeluarkan hadats, maka tidak mengetahui dengannya dari orang yang tidur dalam kondisi berbaring.
(قَالَ) : وَمَنْ نَامَ قَائِمًا وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكِلُ نَفْسَهُ إلَى الْأَرْضِ. وَأَنْ يُقَاسَ عَلَى الْمُضْطَجِعِ بِأَنَّ كُلًّا مَغْلُوبٌ عَلَى عَقْلِهِ، بِالنَّوْمِ - أَوْلَى بِهِ مِنْ أَنْ يُقَاسَ عَلَى الْقَاعِدِ الَّذِي إنَّمَا سُلِّمَ فِيهِ لِلْآثَارِ، وَكَانَتْ فِيهِ الْعِلَّةُ الَّتِي وَصَفْت مِنْ أَنَّهُ لَا يَكِلُ نَفْسَهُ إلَى الْأَرْضِ.
Imam asy-Syafi’i berkata: dan barang siapa yang tidur dalam posisi berdiri, wajib baginya untuk berwudlu. Hal ini karena dia tidak mewakilkan (menekankan) dirinya kepada bumi.  Dan bahwa hal itu dibandingkan kepada orang yang tidur dalam posisi berbaring bahwasanya keduanya adalah kalah akalnya (tidur), dengan tidur pertama (yang berdiri) dibandingkan atas orang yang tidur dalam posisi duduk yang sesungguhnya selamat di dalamnya kepada pengaruh (untuk berhadats). Dan adalah di dalamnya terdapat illat yang telah aku gambarkan bahwasanya dia tidak mewakilkan dirinya kepada bumi.
(قَالَ) : وَالنَّوْمُ الَّذِي يُوجِبُ الْوُضُوءَ عَلَى مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ بِالنَّوْمِ، الْغَلَبَةُ عَلَى الْعَقْلِ، كَائِنًا ذَلِكَ مَا كَانَ، قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا. فَأَمَّا مَنْ لَمْ يُغْلَبْ عَلَى عَقْلِهِ مِنْ مُضْطَجِعٍ وَغَيْرِ مَا طُرِقَ بِنُعَاسٍ أَوْ حَدِيثِ نَفْسٍ، فَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ أَنَّهُ أَحْدَثَ.
Imam asy-Syafi’i berkata: dan tidur yang mewajibkan wudlu atas orang yang wajib atasnya berwudlu karena tidur, adalah kalahnya akal, baik itu sedikit atau banyak. Maka adapun orang yang tidak kalah akalnya dari orang yang tidur berbaring dan yang selainnya yang tidak lemah akalnya karena permulaan mengantuk, atau berbicara dengan diri sendiri (dalam hati), maka tidak wajib atasnya berwudlu hingga yakin bahwasanya dia telah berhadats.
(قَالَ) : وَسَوَاءٌ الرَّاكِبُ السَّفِينَةَ، وَالْبَعِيرَ، وَالدَّابَّةَ، وَالْمُسْتَوِيَ بِالْأَرْضِ مَتَى زَالَ عَنْ حَدِّ الِاسْتِوَاءِ قَاعِدًا، أَوْ نَامَ قَائِمًا، أَوْ رَاكِعًا، أَوْ سَاجِدًا، أَوْ مُضْطَجِعًا، وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ،
Imam asy-Syafi’i berkata: dan sama saja baik berada di kapal laut, unta, dan binatang – binatang lainnya, dan orang yang duduk tegak di bumi, tatkala meninggalkan dari definisi duduk dalam keadaan duduk rata, atau orang yang tidur dalam posisi berdiri, atau dalam posisi ruku’, atau sujud, atau dalam posisi berbaring, wajib baginya untuk berwudlu.
وَإِذَا شَكَّ الرَّجُلُ فِي نَوْمٍ وَخَطَرَ بِبَالِهِ شَيْءٌ، لَمْ يَدْرِ أَرُؤْيَا أَمْ حَدِيثُ نَفْسٍ؟ فَهُوَ غَيْرُ نَائِمٍ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ النَّوْمَ، فَإِنْ اسْتَيْقَنَ الرُّؤْيَا، وَلَمْ يَسْتَيْقِنْ النَّوْمَ، فَهُوَ نَائِمٌ وَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ، وَالِاحْتِيَاطُ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى كُلِّهَا أَنْ يَتَوَضَّأَ، وَعَلَيْهِ فِي الرُّؤْيَا وَيَقِينِ النَّوْمِ وَإِنْ قَلَّ – الْوُضُوءُ
Dan ketika seseorang ragu di dalam tidur dan terlintas dalam benaknya sesuatu, yang tidak diketahui apakah mimpi ataukah berbicara dengan diri sendiri (dalam hati)? Maka dia tidaklah tidur hingga yakin bahwasanya dia tidur. Maka jika yakin bahwa dia bermimpi, dan tidak yakin tidur, maka dia adalah orang yang tidur dan atasnya berwudlu. Dan adalah kehati – hatian di dalam masalah yang pertama seluruhnya berwudlu. Dan atasnya di dalam mimpi dan yakin tidur dan ketika hanya sedikit (sebentar saja), maka baginya berwudlu.




[1] Muslim, Shahih Muslim, Jilid 1 (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi), h. 233. (dikutip dari Maktabah Syamilah versi resmi 1)
[2] Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid 1 (Dar Tawq an-Najah, 1422 H), h. 43.  (dikutip dari Maktabah Syamilah versi resmi 1)
[3] Malik, Muwaththa’, Jilid 2 (Abu Dhabi: Muassasah Zaid bin Sulthan, 1425 H), h. 27. (dikutip dari Maktabah Syamilah versi resmi 1)
[4] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Jilid 16 (Muassasah al-Risalah, 1421 H), h. 57. (dikutip dari Maktabah Syamilah versi resmi 1)
[5] Asy-Syafi’i, Musnad Syafi’i, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1400 H), h. 14. (dikutip dari Maktabah Syamilah versi resmi 1)
[6] Asy-Syafi’i, Musnad Syafi’i, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1400 H), h. 11. (dikutip dari Maktabah Syamilah versi resmi 1)
[7] Ibnu Mulaqqin, al-Badr al-Munir, Jilid 2 (Riyadh: Dar al-Hijrah, 1425 H), h. 507.


1 komentar:

  1. Ringkasan dari kitab "Ringkasan al-Umm":

    Imam Syafi'i berkata: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu. " (Qs. Al Maa"idah(5): 6)

    Imam Syafi'i berkata: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, '''Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka janganlah ia membenamkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia mencucinya tiga kali, karena ia tidak mengetahui di manakah tangannya bermalam." HR. Abu Daud pembahasan tentang wajibnya wudhu,bab 'seorang Ielaki yang Memasukan Tangannya ke dalam Bejana Sebelum mencucinya ", hadits no 203, Aun Al Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, jilid 1, hal. 177.

    Imam Syafi'i berkata: Barangsiapa tidur dengan terlentang, maka wajib atasnya berwudhu kembali, karena ia berarti bangun dari tidur. Tidur dapat menghilangkan fungsi akal. Barangsiapa akalnya tidak berrungsi akibat gila atau sakit, baik ia tidak terlentang ataupun tidak, maka wajib atasnya berwudhu, karena keadaannya lebih banyak menyerupai orang tidur. Bahkan, orang yang tidur bisa sadar dengan sebab tergeraknya sesuatu atau tanpa sebab apa-apa. Sementara orang yang akalnya tidak berrungsi akibat gila atau sebab lainnya, ia tidak akan bergerak (yakni tidak sadar).

    Imam Syafi'i berkata: Apabila seseorang tidur dalam keadaan duduk, maka saya lebih suka jika orang tersebut berwudhu kembali.

    Imam Syafi'i berkata: Apabila ia tidur pada posisi duduk tegak, maka saya memandang bahwa ia tidak wajib berwudhu, sebab orang yang 'tidur dengan posisi terlentang tidak sama dengan orang yang tidur dalam keadaan duduk, dikarenakan tidur dengan posisi terlentang akan terasa lebih nyenyak, sehingga akalnya akan terasa lebih tidak berfungsi dibanding orang yang tidur dalam keadaan duduk.

    Imam Syafi'i berkata: Apabila ia telah bergeser dari posisi duduk tegak saat tidur, maka ia wajib mengulang wudhunya, karena orang yang tidur dalam keadaan duduk itu menekan dirinya pada lantai dan hampir tidak keluar sesuatu kecuali ia akan menyadarinya. Apabila ia telah bergeser dari duduknya yang tegak, maka ia berada dalam batasan tidur dengan terlentang yang rawan terjadi hadats. Apabila seseorang tidur dengan posisi ruku atau sujud, maka saya wajibkan atasnya untuk berwudhu, sebab posisi ini lebih rawan lagi dimana hadats dapat keluar tanpa disadari dibandingkan orang yang tidur dengan posisi terlentang.

    Imam Syafi'i berkata: Yang mewajibkan seseorang untuk berwudhu kembali karena tidur ialah hilangnya fungsi akal, baik tidur ringan maupun tidur nyenyak. Adapun orang yang fungsi akalnya tidak hilang, baik tidur dengan posisi terlentang, menganggukkan kepala karena mengantuk atau adanya.bisikanhati, makahal itu tidak mewajibkan untuk berwudhu kembali, sehingga ia yakin bahwa ia telah berhadats.

    Beliau (Imam Syafi'i) berkata: Sama halnya apakah seseorang menaiki perahu layar, menunggang unta maupun binatang lainnya, atau orang yang duduk tegak di lantai tatkala telah melewati batasan "tegak" sewaktu duduk, atau tidur dengan posisi berdiri, ruku, sujud atau terlentang, maka wajib atas orang itu mengulangi wudhunya. Apabila orang itu ragu tentang tidurnya dan terbersit dalam benaknya sesuatu yang tidak diketahuinya, apakah ia bermimpi atau hanya bisikan hati, maka orang tersebut bukan termasuk orang yang tidur. Apabila ia yakin bermimpi dan ragu apakah ia tidur atau tidak, maka ia dianggap telah tidur dan harus mengulangi wudhunya.

    Berhati-hati pada masalah pertama bisa dilakukan dengan cara berwudhu kembali. Wajib baginya berwudhu karena bermimpi dan ketika yakin bahwa ia telah tidur, meski tidak lama.

    BalasHapus